Kamis, 27 November 2008

Kompensasi Rio Tinto ke Pemilik KP Telah Disampaikan

Media Alkhairat, Rabu 26 November 2008

Kompensasi Rio Tinto ke Pemilik KP Telah Disampaikan

Jakarta – Kompensasi yang akan diberikan PT Rio Tinto Indonesia kepara pemilik kuasa pertambangan (KP) dilokasi proyek tambang nikel di Sulawesi sudah disepakati.
Staf Ahli Bupati Morowali, Propinsi Sulaesi Tengah, Cristian Rongka saat dihubungi dari Jakarta, Selasa mengatakan, kesepakatan itu adalah Rio Tinto akan mengganti biaya riil yang telah dikeluarkan pemilik KP ditambah premium yang wajar.
“Kesepakatan itu telah dicapai dalam pertemuan Senin (24/11) kemarin,” katanya.
Pertemuan tersesebut dilakukan antara pejabat keempat Pemda di lokasi tambang yakni Propinsi Sulawesi Tengah, Propinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, dan Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, manajer Rio Tinto, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen ESDM.
Dalam pertemuan itu,seluruh pemerintah daerah yang wilayahnya termasuk lokasi proyek tambang nikel Rio Tito Indonesia di perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, juga telah menyampaikan isi rencana kontrak karya perusahaan tambang tersebut. Hal senada dikemukakan Wakil Bupati Konawe, Propinsi Sulawesi Tenggara, Masmuddin.
Menurut dia, Pemda akan menjadi mediator dalam penyelesaian tumpang tindih lahan antara Rio Tinto dan pemilik KP tersebut. “Kami berharap pemilik KP mau menerima kompensasi tersebut,” kata Masmuddin.
Cristian menambahkan, semua daerah juga sepakat bahwa pemilik KP tdak boleh menghitung kompensasi dari deposit tambang atau aset daerah. “Tidak boleh. Itu sudah disepakati kemarin,” katanya.
Menurut dia, pihaknya menunggu sampai Jum’at (28/11) ini kemajuan dari penyelesaian tersebut.
Ia juga mengatakan, seluruh pemerintah daerah juga berharap kontrak karya (KK) Rio Tinto bisa segera dilanjutkan ke DPR. “Lebih cepat KK itu disahkan, akan lebih baik bagi kami di daerah,” tambahnya.
Sejak 1999, Rio Tinto telah mendapat izin prinsip konsesi tambang nikel yang terletak di dua kabupaten yakni Morowali, Sulawesi Tengah, dan Konawe, Sulawesi Tenggara, dari pemerintah pusat.
Namun belakangan, pemerintah daerah setenpat mengeluarkan kuasa pertambangan diwilayah yang sama kepada perusahaan lain diantaranya Group Bintang Delapan.
Padahal, Rio Tinto menyatakan telah menyediakan dana Rp18 triliun untuk mengembangkan kawasan tambang tersebut.
Tambang Lasamphala direncanakan berproduksi secara komersial pada 2015 dengan kapasitas produksi awal sebesar 46 ribu ton pertahun dan selanjutnya meningkat menjadi 100 ribu ton pertahun.
Proyek tambang yang berpotensi menyerap hingga 5.000 tenaga kerja tersebut juga akan membangu pelabuhan, lapangan terbang dan kota kecil disekitar lokasi penambang.***

Inco Bangun Pabrik di Bahodopi

Media Alkhairat, Kamis 27 November 2008

Inco Bangun Pabrik di Bahodopi

Palu – PT. International Nikel Indonesia Tbk.
(PT. Inco) melalui Direcror Bahodopi dan Pomalaa Projct, Kuyung Andrawina, Rabu (26/11) menegaskan, pihaknya tetap berkomitmen membangun pabrik di Bahodopi Kabupaten Morowali propinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) sesuai kontrak karya.
Olehnya dia meminta dukungan pemerintah dan masyarakat terkait rencana mereka membangun pabrik tersebut yang saat ini akan memulai proses tahapan awal yakni terkait analisis dampak lingkungan Amdal dengan melibatkan pihak
Konsultan PT. Inco Bapedalda Provinsi dan Kabupaten hingga sampai tahap konstruksi dan penyelesaian.
“Kami rencananya bulan Januari 2009 akan masuk dalam kerangka Amdal dan bila semua telah berjalan dengan baik dan hasilny sudah ada maka kami akan membangun infrastruktur berupa jalan dari Soroaka ke Bahodopi., membangun dermaga dan landasan pesawat,” ujarnya.
Kuyung juga menyebutkan salah satu komitmen dari PT. Inco yakni memberikan bantuan kepada Universitas Tadulako senilai Rp 2,1miliar untuk pembangunan sarana kuliah dan laboraturium fakultas kedokteran serta memberikan beasiswa kepada 34 mahasiswa.
Ia melanjutkan, untuk investasi di Bahodopi sesuai kontrak karya yang ditanda tangani sejak tahun 1968 dan diperpanjang tahun 1996 hingga 2025 itu mencapai 500 juta dollar diharapkan dengan sisa waktu yang ada bisa mengembalikan investasi PT. Inco.
Untuk pembangunan pabrik di Bahodopi kemungkinan besar bisa seperti itu sama halnya dengan di Soroaka namun bisa saja berubah terkait hasil Amdal nantinya sehingga bisa diketahui secara pasti tekhnologi dan jenis pabrik yang akan dibangun. Ketika ditanya mengenai dampak krisis keuangan global terkait dengan PT. Inco, Kuyung mengakui memang terjadi dampak sehingga merekapun mengantisipasi dengan menggunakan tekhnologi baru yang lebih murah dan menggunakan fasilitas yang telah ada.
“PT. Inco sekarang memang mengalami resesi sehingga berhati-hati dalam menjustifikasi semua proyek-proyek PT. Inco.***

Senin, 24 November 2008

Bupati Teken Izin PT. Sinar Mas Grup Warga Jadi Sengsara

Media Alkhairat, Senin 24 November 2008

Bupati Teken Izin PT. Sinar Mas Grup
Warga Jadi Sengsara

Palu – Sejak kehadiran PT. Sinar Mas Group di Kabupaten Morowali tahun 2006, yang izinnya kembali dikeluarkan dan ditandatangani Bupati Anwar Hafid, aktivitas warga disebagian wilayah Kabupaten Morowali mulai terbatas, bahkan menyengsarakan masyarakat Kecamatan Lembo.
“Rumah, kebun dan sawah yang kami miliki, kini telah masuk areal kaplingan perkebunan PT. Sinar Mas Group, kami tak lagi memiliki hak kami sebagai mana biasanya, dimana tanggung jawab pemerintah kepada kami,” kata Ketua BPD desa Petumbea Kecamatan Lembo, Marnontji Lameanda belum lama ini kepada Media Alkhairat.
Marnontji Lameanda mengungkapkan, empat warga Kecamatan Lembo saat ini telah menjadi korban dengan cara ditangkap oleh aparat kepolisian dengan tuduhan melawan, mengancam dan menerobos lahan milik PT. Sinar Mas Group. Salah satu warga Desa Petumbea yang ditangkap itu adalah Kepala Dusun di Desa Petumbea Kecamatan Lembo Kabupaten Morowali, Adrian Lande Gawa. Kini Adrian harus mendekam di jeruji besi Polres Morowali atas laporan pihak PT. Sinar Mas Group.
Nasib malang itu tidak hanya dialami Adrian Landegawa. Ada dua warga yang juga dilaporkan PT Sinar Mas Group. Kasus keduanya sudah pada tingkat kejaksaan serta sementara satu orang lainnya sedang menjalani persidangan.
Padahal menurut Ketua BPD Desa Petumbea, Marnontji Lameanda, kehadiran Adrian di areal perkebunan tersebut tidak lain untuk berburu binatang buas. Setiap hari ia dan beberapa warga lainnya suka berburu binatang diareal tersebut. Sejatinya, kata Mamantji areal yang dipatok PT. Sinar Mas Group merupakan tempat untuk berburu binatang, bagi semua masyarakat yang ada didaerah itu.
Mamantji menambahkan, izin perkebunan PT Sinar Mas Group keluar dimasa pemerintahan Bupati Datlin Tamalagi, setelah itu izin tersebut dicabut lagi oleh Bupati Andi Muhammad, yang kemudian Bupati Anwar Hafid memberi izin lagi pada bagi perusahaan yang sama.
Sesuai peta izin lokasi rencana perkebunan kelapa sawit dan anak perusahaan PT. Sinar Mas Group yakni PT. Niaga Internuasa yang mendapat izin lokasi seluas 19.757 Ha sedangkan PT. Kirana Sinar Gemilang seluas 16.645 Ha. Total luas lahan milik PT. Sinar Mas Group seluas 36 ribu hektar.
Atas tindakan yang dilakukan pihak perusahaan PT. Sinar Mas Group yang melaporkan setiap aktivitas warga di beberapa desa di Kecamatan Lembo.
Ketua BPD Desa Petumbea Marnontji Lameanda mengatakan, jika hal tersebut terus-terusan berlanjut dan tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah Kabupaten Morowali, semua warga resah dengan keadaan itu hingga saat ini.
Pihaknya khawatir jumlah masyarakat yang akan ditahan bisa bertamabah sebab saat ini jika ada masyarakat yang melakukan aktivitas ditempat itu akan ditangkap oleh aparat kepolisian.
“Kami curiga polisi telah dimanfaatkan oleh PT. Sinar Mas Group untuk menakuti masyarakat,” tegasnya.
Marnontji Lameanda menambahkan, pihaknya sudah menyiapkan semua berkas terkait dengan masalah itu, termasuk dengan tindakan kepolisian daerah Morowali yang telah melakukan penahanan terhadap warga masyarakat, yang seyogyanya hanya mengelolah kebun dan sawah milik mereka sejak lama. (syarif/Hikam)

Rio Tinto Segera Bertemu Pemkab Morowali

Media Alkhairat, Senin 24 November 2008

Rio Tinto Segera Bertemu Pemkab Morowali

Palu – Pemerintah dalam waktu dekat akan memfasilitasi pertemuan antara manajemen Rio Tinto Indonesia dan Pemerintah Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah serta Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara, terkait upaya pengesahan Kontrak Karya (KK) proyek penambangan nikel di Lasamphala.
Direktur Jendral Mineral, Batu bara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Bambang Setiawan menuturkan, dalam waktu dekat akan diatur pertemuan untuk mencari win-win solution terhadap seluruh pihak yang terkait.
“Segera, pemerintah yang akan memfasilitasi pertemuan antara Pemkab dengan Rio Tinto. Kalau sudah ada titik temu, baru hasil kesepakatan dituangkan dalam kontrak, dan kemudian ditandatangani,” ujar Bambang Setiawan di Jakarta saat itu. Dia menegaskan tandatangan KK Rio Tinto ini harus dilakukan akhir tahun ini sebelum Undang-undang Mineral dan Batu bara yang baru disahkan.
Salah satu faktor yang mengganjal disahkannya KK untuk Rio Tinto, masih adanya tumpang tindih lahan dengan perusahaan tambang lokal pemegang izin Kuasa Pertambangan (KP) yang dirilis Pemkab Morowali (Sulteng) dan Pemkab Konawe (Sultra). Agar permasalahan tumpang tindih lahan tersebut segera selesai, menurut Bambang dibutuhkan dukungan Pemkab Morowali dan Pemkab Konawe maupun Pemprov Sulawesi Tengah dan Pemprov Sulawesi Tenggara untuk turut membantu menyelesaikan masalah tersebut.
Sampai saat ini manajemen PT. Rio Tinto Indonesia masih membuka beberapa opsi untuk dibahas bersama dengan sejumlah pemerintah daerah. “Kami sangat terbuka dengan berbagai bentuk penyelesaian atas tumpang tindih lahan dengan pemegang kuasa pertambangan di Lasamphala.” Tutur Budi Irianto, Manajer Humas PT. Rio Tinto Indonesia.
Presiden Direktur PT. Rio Tinto Indonesia Omar S. Anwar sebelumnya mengatakan pembahasan antara perusahaan dan pemerintah pusat terkait isi klausul dalam kontrak karya sudah diselesaikan. Rio Tinto telah menyerahkan aplikasi KK proyek nikel Sulawesi sejak 2000.
Berkaitan dengan krisis keuangan global dan pengaruhnya terhadap rencana investasi Rio Tinto Indonesia, Omar menegaskan rencana investasi perusahaannya tidak mengalami perubahan. Rio Tinto tetap berencana menanam investasi proyek nikel di lahan yang terletak di dua kabupaten, yakni Kbupaten Morowali (Sulteng), dan Konawe (Sultra), sebesar US$ 2 miliar atau sekitar Rp 20 Triliun dengan kurs Rp 10.000.
“Masih tetap dikisaran US$ 2 miliar. Saya kira angka tersebut masih belum berubah. Tapi nantinya akan ada hasil kajian,” jelasnya kepada Media Alkhairat melalui telepon pribadinya.
Meski demikian, bila terjadi masalah dalam pendanaan proyek nikel Sulawesi tersebut, struktur keuangan induk perusahaan masih cukup baik. “Yang penting, kami ingin KK tersebut bisa segera disahkan,” ucapnya optimis. (jafar/syarif)

Jababeka Bangun Kawasan Industri di Palu

Media ALkhairat, Jum’at 21 November 2008

Jababeka Bangun Kawasan Industri di Palu

JAKARTA – PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) siap membangun kawasan industri seluas 700 hektar di Palu dengan berbasis komoditas inti daerah.
Vice President Corporate Marketing Jababeka, Agus H Canny, di Jakarta Kamis (20/11), mengatakan pihaknya tidak akan mengembangkan kawasan industri-industri yang berbasis manufaktur di wilayah tersebut dikarenakan belum memadainya infrastruktur pendukung.
“Pembangunan itu memang memakan waktu dan sekarang ini kami sedang melakukan pembangunan fisik terlebihdahulu seluas 25 hektar, baru kemudian kami mencari SDM (Sumber Daya Manusia),” kata Agus seperti diberitakan Antara.
Pengembangan kawasan itu merupakan bentuk dari kerjasama antara Jababeka dengan Pemerintah Kota Palu pada 8 Mei 2008 lalu. Bentuk kerjasma tersebut antara lain pembangunan infrastruktur kawasan industri hingga pemasaran hasil penelitian dan pengembangannya.
“Pembangunan akan dilakukan dengan tiga tahap dan pada tahap pertama kita akan membangun di kawasan seluas 500 hektar dari seluruh lahan yang ada atau sekitar 1.500 hektar,” timpal Agus.
Tanpa menyebutkan nilai investasi kawasan itu, Agus menjelaskan, komoditas yang potensial untuk dikembangkan dikawasan tersebut antara lain industri berbasis komoditi coklat, rotan dan rumput laut.
Rencana pembangunan di Kecamatan Palu Utara 700 hektar untuk kawasan industri, 500 hektar untuk kawasan perumahan, 100 hektar taman pendidikan dan pusat penelitian, 100 hektar untuk kawasan komersial, 50 hektar untuk sarana olahraga, Golf & Country Club, 50 hektar untuk pergudangan, dan 5 hektar untuk taman.***

Jababeka Bangun Kawasan Industri di Palu

Media ALkhairat, Jum’at 21 November 2008

Jababeka Bangun Kawasan Industri di Palu

JAKARTA – PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) siap membangun kawasan industri seluas 700 hektar di Palu dengan berbasis komoditas inti daerah.
Vice President Corporate Marketing Jababeka, Agus H Canny, di Jakarta Kamis (20/11), mengatakan pihaknya tidak akan mengembangkan kawasan industri-industri yang berbasis manufaktur di wilayah tersebut dikarenakan belum memadainya infrastruktur pendukung.
“Pembangunan itu memang memakan waktu dan sekarang ini kami sedang melakukan pembangunan fisik terlebihdahulu seluas 25 hektar, baru kemudian kami mencari SDM (Sumber Daya Manusia),” kata Agus seperti diberitakan Antara.
Pengembangan kawasan itu merupakan bentuk dari kerjasama antara Jababeka dengan Pemerintah Kota Palu pada 8 Mei 2008 lalu. Bentuk kerjasma tersebut antara lain pembangunan infrastruktur kawasan industri hingga pemasaran hasil penelitian dan pengembangannya.
“Pembangunan akan dilakukan dengan tiga tahap dan pada tahap pertama kita akan membangun di kawasan seluas 500 hektar dari seluruh lahan yang ada atau sekitar 1.500 hektar,” timpal Agus.
Tanpa menyebutkan nilai investasi kawasan itu, Agus menjelaskan, komoditas yang potensial untuk dikembangkan dikawasan tersebut antara lain industri berbasis komoditi coklat, rotan dan rumput laut.
Rencana pembangunan di Kecamatan Palu Utara 700 hektar untuk kawasan industri, 500 hektar untuk kawasan perumahan, 100 hektar taman pendidikan dan pusat penelitian, 100 hektar untuk kawasan komersial, 50 hektar untuk sarana olahraga, Golf & Country Club, 50 hektar untuk pergudangan, dan 5 hektar untuk taman.***

DPRD Poso Tolak Perkebunan Kelapa Sawit.

Media Alkhairat, Jum’at 21 November 2008

DPRD Poso Tolak Perkebunan Kelapa Sawit.

Poso – Rencana pemerintah Kabupaten Poso untuk melakukan penanaman kelapa sawit di areal persawahan pada dua kecamatan, yakni Kecamatan Pamona Timur dan Kecamatan Pamona Tenggara, di tentang DPRD Kabupaten Poso berdasarkan penolakan masyarakat.
Dalam rapat dengar pendapat yang membahas mengenai penanaman kelapa sawit didua kecamatan tersebut, ketua DPRD Kabupaten Poso Sawerigading Pelima menyatakan penolakan tersebut.
“DPRD akan membuat surat yang ditujukan kepusat mengenai sikap penolakan masyarakat,. Terusterang saya bukan hanya sebagai ketua DPRD, tetapi sebagai warga Desa Taripa juga menolak rencana penanaman sawit tersaebut,” tegas Pelima dalam rapat dengar pendapat yang berlangsung kemarin diruang siding utama DPRD Kabupaten Poso.
Rapat yang dipimpin langsung ketua DPRD Kabupaten Poso itu hanya dihadiri kepala BPN Poso, lima kepala desa dari12 undangan dan unsure kepolisian serta beberapa anggota Dewan. Sedangkan sejumlah undangan lainnya tidak tampak pada rapat itu, termasuk Bupati Poso dan PT. Sawit Jaya Abadi sebagai investor.
Menurut S. Lima pihak perusahaan sudah melakukan pematokan terhadap sawah rakyat yang ada di wilayah tersebut dengan alasan sudah mengantongi izin lokasi dari Bupati, padahal ada penolakan dari masyarakat setempat.
Yang pasti kata dia, sikap dewan sudah jelas jauh-jauh hari. Sejak tanggal 4Oktober lalu sudah memberi sumbangan pikiran dalam surat yang telah disampaikan berkaitan dengan rencana pembukaan perkebunan kelapa sawit pada sebagian wilayah di dua kecamatan tersebut.
S. Pelima menduga rencana penanaman sawit hanyalah akal-akal untuk menutupi kasus percetakan sawah yang dianggarkan dari dana recorvery senilai Rp 820 juta, yang secara kebetulan ada di Desa Pancasila, salah satu desa yang masuk didalam perencanaan penanaman. “Saya hanya menduga, kalau sudah dijadikan perkebunan sawit, maka percetakan sawah akan hilang karena kasus tersebut sedang dalam penyelidikan,” duga Pelima.
Sedangkan menurut Kepala BPN Poso, Yery Agung Nugroho, izin lokasi perusahaan bukanlah hak atas tanah, tetapi izin lokasi tersebut adalah izin yang diberikan kepada pengusaha untuk melakukan pembebasan lahan.
“Izin lokasi yang diberikan seluas 8500 Hektar dalam jangka waktu 3 tahun. Apa bila masyarakat setuju terhadap pembebasan lahan, berarti perusahaan berhak atas tanah tersebut. Jadi dalam jangka 3 tahu, perusahaan diberikan waktu untuk melakukan pembebasan lahan. Jika dalam jangka 3 tahun lahan persawahan masyarakat yang berhasil dibebaskan misalnya hanya 1000 hektar, berarti hanya 1000 hektar yang kita proses. Tetapi jika lebih dari 50 persen, maka waktunya akan ditambah satu tahun lagi, begitu ketentuannya,” jelas Yery.
Namun ia mengakui penanaman sawit di areal persawahan merupakan hal yang jarang terjadi, karena ketentuan dalam kesesuaian lokasi perkebunan sawit berada pada 600 meter diatas permukaan air dengan kemiringan 40 persen. (mitha)

Kamis, 20 November 2008

Pemkab Morowali Diminta Selesaikan Tumpang Tindih Lahan

Media Alkhairat, Rabu 19 November 2008
Pemkab Morowali Diminta Selesaikan Tumpang Tindih Lahan
Morowali – Lebih 50 perusahaan tambang dan perkebunan di Kabupaten Morowali, mesih bermasalah pada tumpang tindih lahan antar perusahaan dan perusahaan, serta antara perusahaan dan masyarakat.
Sejumlah perusahaan tersebut, diantaranya PT INCO Tbk dengan Bintang Delapan Mineral dan PT. Rio Tinto. Kemudian antara PT Aneka Tambang dengan Duta Inti Perkasa Mineral (Harita Group), Tekhnik Alum Servce (TAS), Target dan Lion Power.
Sedangkan untuk perusahaan perkebunan, tumpang tindih lahan antara PT Astra dengan PT Sinar Mas, bahkan karena itu, karyawan dua perusahaan itu nyaris bentrok.
Dalam rapat rencana perubahan anggaran Kabupaten Morowali tahun 2008, yang berlangsung Selasa (18/11), pihak DPRD setempat kembali menyoal tumpang tindih lahan tersebut.
Pihak DPRD setempat kemudian merekomendasikan agar pemerintah Kabupaten Morowali segera menyelesaikan soal tumpang tindih lahan itu, agar tidak menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
“Demi memelihara stabilitas keamanan di Kabupaten Morowali, maka pemerintah daerah harus segera menyelesaikan atau menertibkan penguasaan lahan yang tumpang tindih, akibat perizinan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Ini juga dimaksudkan agar investor dan masyarakat mendapatkan perlindungan hukum,” kata Sudirman ketika mebacakan tanggapan akhir Fraksi Golkar.
Pemerintah Kabupaten Morowali menyatakan segera menyelesaikan kasus tersebut. Hanya saja, saat ini mereka masih disibukkan dengan adanya gugatan dari beberapa perusahaan terkait dengan penerbitan Izin Kuasa Pertambangan Baru.
Sebelumnya, anggota komisi C Bidang Pertambangan, Rafiudin Tengkow menyoroti soal kelambanan Pemkab Morowali menangani kasus tumpang tindih lahan tersebut. Menurutnya, salah satu penyebab terhambatnya pembangunan dan terjadinya gangguan stabilitas keamanan di “Bumi Tepe Asa Maroso” ini, karena adanya persoalan tumpang tindih lahan sejumlah perusaan tersebut.
Menurut Rafuidin Tengkow,dalam setahun terakhir ini, Pemerintah Kabupaten Morowali lebih banyak disibukkan dengan persoalan-persoalan hukum, yang berhubungan dengan tuntutan para investor, dari pada memikirkan pembangunan.
Pun halnya, kata Rafiudin, stabilitas keamanan di masyarakat selalu terusik oleh kepentingan para investor, yang kerapkali memanfaatkan keberpihakan masyarakat awam, untuk mendukung kepentingan investasinya.
“Kita masih ingat ramainya pro kontra antarwarga desa karena membelas kepentingan investor, yang hampir memicu konflik horizontal beberapa waktu lalu,” ujarnya.
Ia mencontohkan kasus ketegangan warga Desa Tangova dan One Eta, Kecamatan Bungku Selatan, kasus pemukulan salah seorang managemen PT Duta Inti Perkasa Mineral oleh warga Desa Buleleng, Kecamatan Bungku Selatan baru-baru ini. “semua ini terjadi karena pembelaan terhadap para investor,” katanya. (Zen)

Senin, 17 November 2008

Pertambangan Nikel di Morowali, Rio Tinto Tetap Ekspansi

Media Alkhairat, Senin17 November 2008

Pertambangan Nikel di Morowali

Rio Tinto Tetap Ekspansi
Palu – PT Rio Tinto tetap melakukan penambangan Nikel di Lasampala, Kabupaten Morowali. Nilai investasi yang disiapkan mencapai Rp 20 triliun.
Omar S. Anwar, Direktur utama PT Rio Tinto Indonesia kepada Media Alkhairat, Ahad (16/11) kemarin melalui telepon pribadinya, menyatakan tetap melakukan penambangan Nikel di daerah itu meskipun saat ini perusahaan tersebut sedang bersengketa dengan pemerintah Kabupaten Morowali.
“Apa bila ada win-win solution antara kami dengan pemerintah daerah, otomatis proses hukum di PTUN bisa dilewati,” ujar Omar optimis.
Rencananya kata Omar, jika sudah mendapat izin Kontrak Karya (KK) dari pemerintah pusat, maka tambang Lasampala akan berproduksi secara komersial pada 2012 dengan kapasitas awal produksi sebesar 46 ribu ton pertahu. “Kelak akan ditingkatkan menjadi 100 ribu ton pertahun,” kata Omar.
Dia memperkirakan proyek penambangan ini sedikitnya akan menyerap sekitar 5000 tenaga kerja. PT Rio Tinto kata dia tetap berkomitmen untuk mengedepankan anak daerah dalam mengelola nikel tersebut.
Penambangan di Morowali kata Omar, Rio Tinto akan berpartisipasi dalam membangun pelabuhan, lapangan terbang dan kota kecil di sekitar lokasi penambangan.
Sebelumnya, PT Aneka Tambang Tbk (Antam) telah menerima pemberi tahuan dari BHP Billiton untuk mengakhiri conditional agreement dalam kerjasama pengembangan sumber daya nikel laterit di wilayah Buli, Halmahera (Maluku Utara).
Sekretaris Perusahaan Antam Bimo Budi Satriyo dalam keterbukaan informasi ke Bursa Efec Indonesia (BEI), Kamis (13/11/2008) lalu mengatakan, pengakhiran kerjasama itu disebabkan karena BHP Billito menilai, bisnis tersebut kurang memiliki prospek serta belum diperolehnya persetujuan Kontrak Karya (KK) pada tanggal 31 Oktober 2008.
Padahal, persetujuan Kontrak Karya itu merupakan salah satu syarat diteruskannya perjanjian usaha patungan (joint venture agreement/ JVA) antara Antam dengan BHP Billiton.
Untuk diketahui, nilai investasi yang akan ditanamkan pada usaha patungan tambang nikel BHP Billiton-Antam mencapa US$ 4 miliar, atau sekitar Rp 40 triliun (dengan kurs Rp 10 ribu).
Namun hal yang dialami Billiton, tidak berlaku pada Rio Tinto. Meski masalahnya hampir sama. Sampai saat ini KK Rio Tinto juga belum diusahakan oleh pemerintah. Hal itu disebabkan adanya tumpang tindih lahan dengan perusahaan tambang lokal yang memegang izin Kuasa Pertambangan dari Pemkab Konawe (Sulawesi Tenggara) dan Pemkab Morowali (Sulawesi Tengah).
“Kami masih menanti dukungan konkrit dari pemerintah daerah sebelum menuju DPR,” paparnya.
Menurut sumber di Departemen Dalam Negeri, dalam waktu dekat Depdagri akan mengadakan pertemuan yang melibatkan perusahaan pemegang KP, Pemkab, Pemprov dan manajemen Rio Tinto untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan itu secara win-win solution. (Syarif)

Eksplorasi Tambang, Cudy: Kalau Merugikan Kita Tolak

Mercusuar, Senin 17 November 2008

Eksplorasi Tambang

Cudy: Kalau Merugikan Kita Tolak

Palu, Mercusuar – Sabtu, akhir pekan kemarin (15/11) Jatam Sulteng menggelar Dialog Public bertemakan Menyorot Untung Rugi Ekspansi Industri Pertambangan Di Sulawesi Tengah. Diskusi itu menghadirkan warga yang tinggal di kawasan potensi tambang seperti Watutela, Kelurahan Tondo, Poboya Kecamatan Palu Timur dan Kawatuna, Kecamatan Palu Selatan. Sementara narasumber yang dihadirkan diantaranya Walikota Palu, Rusdy Mastura, Wakil Ketua DPRD Kota Palu, Arifin Sanusi, Akademisi Untad, dan LSM Arianto Sangadji.
Warga Poboya Pamlan, mengatakan, pertambangan dapat mengancam krisis pangan karena ketersediaan lahan perkebunan warga akan berkurang bahkan lenyap. Sebab, perusahaan tambang yang masuk dapat mencapalok tanah milik masyarakat sehingga warga tersingkir dari sumber kehidupannya. “Kami masyarakat Poboya dengan tegas menolak perusahaan tambang untuk masuk di Poboya,” ungkap Pamlan, dihadapan peserta diskusi.
Walikota Rusdy Mastura dalam paparannya mengatakan, tambang di Poboya bukan atas izin Pemkot Palu, melainkan izin ada di pemerintah pusat, Pemkot hanya membuka ruang bagi investor dan tak mungkin menolak. Kalau menolak kata Cudy sapaan Rusdy Mastura, Pemkot harus punya alasan yang kuat dan rasional.
Pembicara lainnya mantan direktur WALHI Pusat, Khalid Muhammad, menegaskan, dibeberapa negara Eropa dan Asia belum ada pertambangan emas yang ramah lingkungan. Dimana ada pertambangan disitu ada kerusakan lingkungan, gejolak sosial, kemiskinan dan keresahan. Karena itu Khalid meminta agar Walikota Palu menolak rencana penambangan emas di Poboya.
Sementara itu akademisi Untad menilai, wilayah Poboya adalah daerah patahan yang mudah rusak bila dilanda bencana alam terutama gempa bumi. Sementara itu wilayah Poboya adalah daerah resapan dan sumber air untuk kehidupan masyarakat Kota Palu. Untuk pembangunan kota kedepan, wilayah Poboya bisa untuk pengembangan permukiman. Rencana pertambangan Poboya juga belum di Amdal, masih dalam proses pengumpulan data. Perlu pengkajian yang mendalam sebelum menerima atau menolak Tambang Poboya.
Dialog yang dipandu Tasrif Siara itu menyimpulkan, masyarakat dan pemerintah tidak serta merta menolak atau menerima pertambangan emas di Poboya., Melainkan melihat dulu untung rugi dari ekspansi atau perluasan wilayah industri pertambangan baru menyatakan sikap. MAN

Jumat, 14 November 2008

WALHI Sulteng Gelar Diskusi Tambang

Media Alkhairaat, Sabtu 15 November 2008

Palu- Kepedulian atas kelestarian dan pengelolaan hasil alam dan kandungan mineralnya, mendorong Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah untuk lebih serius membicarakan tentang tambang dan hasilnya bagi daerah.

Dengan tema "Menyorot Untung Rugi Ekspansi Industri Pertambangan di Sulawesi Tengah', Walhi menggelar diskusi publik pada hari ini dengan melibatkan berbagai unsur dari kalangan pemerintah dan organisasi pemuda, mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi pers.

Dalam term of reference (TOR) diskusinya, Koordinator kegiatan, Andika Setiawan mengatakan kegiatan tersebut akan berlangsung mulai pukul 14.00 wita hingga selesai dan bertempat di jalan Setia Budi Kecamatan Palu Timur hari ini.

Pada kesempatan itu, pihaknya akan menghadirkan pembicara dari unsur pemerintah kota Palu, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu, kepala Badan Pengembangan Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Propinsi Sulteng, Peneliti Universitas Tadulako dan Non Governance Organistaion (NGO).

sementara untuk peserta lain, pihak penyelenggara akan menghadirkan masyarakat kota Palu, diantranya warga kelurahan vatutela, Poboya, Kavatuna, Kayumalue, Tondo dan Besusu.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulteng, Wilianita Selviana, dikonfirmasi via telepon malam tadi (14/11), mengatakan kegiatan tersebut adalah untuk mengetahui sejauh mana pertambangan di Sulteng memberi kontribusu ke daerah.

Banyaknya perusahaan daerah yang diboncengi perusahaan asing juga membuat sebuah masalah bagi penambangan di daerah.

"Dari data lapangan yang kami peroleh, di daerah Morowali misalnya, banyak perusahaan asing yang memboncengi perusahaan yang ada di daerah" kata Lita panggilan akrabnya.

Kebanyakan Analisis Dampak Lingkungan (AMdal), kata Lita hanya jadi pelengkap sebuah projek, bukan menjadi instrument standar yang menjadi patokan layak atau tidaknya sebuah proyek.

Dalam diskusi tersebut kata Lita, pihaknya sengaja mengundang para pemangku kepentingan di daerah untuk sama-sama duduk membicarakan untung dan ruginya operasi perusahaan tambang bagi daerah. (Sahril)

Rabu, 12 November 2008

Pengembangan Kebun Kelapa sawit di Paksakan, “Pemkab Poso Dituding Manfaatkan Kepentingan dan Keuntungan sesaat”

Tabloid Tegas Edisi III. November 2008
Pengembangan Kebun Kelapa sawit di Paksakan
“Pemkab Poso Dituding Manfaatkan Kepentingan dan Keuntungan sesaat”
Pamona, Tegas. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kecamatan Pamona Timor dan Pamona Tenggara yang dikelolah oleh PT Sawit Jaya Abadi (SJA) bakal tertundah atau bahkan terancam batal dikarenakan non procedural. Selain itu proses pembagian lahan antara perusahaan dan masyarakat tidak berasas kerakyatan, keadilan dari musyawarah mufakat. Hal ini disampaikna olh warga Onda’e Erens Awusi pada media ini dikediamannya kemarin. Pada Koran ini Erens mengatakan “masyarakat tidak mengahalangi pengembangan perkebunan kelapa sawit diwilayah Pamona Timur dan Pamona Tenggara, akan tetapi harus memperhatikan keseimbangan”. Amat disayangkan pemerintah daerah membuat program tidak berdasarkan lokasi peruntukannya, seperti yang tertuang dalam UU RI tentang perkebunan tahun 2004 wilayah geografis yang menghasilkan produk perkebunan yang spesifik dilindungi kelestariannya dengan indiksi geografis. Dimana wilayah tersebut dilarang dialihfungsikan untuk kepentingan lain yang diperjelas lagi dalam pasal 24 ayat 2 perubahan fungsi tanah dari wilayah yang dilindungi geografis menjadi fungsi lain misalnya jenis komoditas, atau bahkan untuk kepentingan pemukiman dan/ atau industry dilarang. Olehnya ketika PT SJA masuk mengusik areal lahan sesuai peruntunya secara turun-temurun, untuk persawahan di 13 desa yang mengelilingi lokasi tersebut, inilah yang menjadi permasalahan. Melihat hal ini kami telah menyurat kepada Bupati Poso memohon kiranya pengembangan kelapa sawit jangan ditanam dilokasi yang dimungkinkan untuk persawahan bagi generasi masyarakat setempat. Tetapi hingga hari ini surat tersebut tidak dibalas oleh Bupati Poso, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini membuktikan bahwa Pemda Poso tidak memperhatikan aspirasi masyarakat bahkan pemerintah PT SJA menjalankan programnya hanya dengan mengantongi izin prinsip dan izin lokasi. Menurut Eren walaupun PT SJA sudah memiliki izin lokasibelum diperkenankan merubah bentuk lahan karena perusahaan tersebut belum memiliki analisis amdal dan izin perkebunan. Menurut Erens dalam UU RI nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan dalam penjelasan umum untuk mencapai tujuan pembangunan perkebunan dan memberikan arah pedoman dan alat pengendali perlu disusun perencanaan perkebunan yang berdasarkan pada rencana pembangunan nasional, rencana tata ruang wilayah, potensi dan kinerja pembanguan perkebunan serta perkembangan lingkungan strategis internal dan eksternal, ilmu pengetahuan dan tekhnologi, sosial budaya, lingkingan hidup, pasar, dan aspirasi daerah yang tetap menjunjung tinggi keutuhan bangsa. Dalam aturan tersebut menurut Erens dikatakan pengelolahan perkebunan wajib memiliki izin usaha perkebunan yang dalam penyelenggaraan harus mampu bersunergi dengan masyarakat. Baik masyarakat sekitar perkebunan pada umumnya dalam kepemilikan atau pengelolaan hasil saling menguntungkan, menghargai, memperkuat dan ketergantungan ungkapnya. Tetapi dalam prakteknya pihak SJA menggunakan aturan-aturan tertentu untuk meloloskan pembagian 80:20 ini bisa dibayangkan dari jumlah lahan 8500 Ha yang masuk sebagai plasma hanya 1700 Ha dibahagi 13 desa rata-rata dalam satu desa jumlah penduduk kurang lebih 600 kk berarti 13 desa total masing-masing hanya mendapatkan luas lahan 130,7 Ha “apa ini berimbang???”. Pemda Poso wajib berpihak kepada masyarakat terkait hal ini jangan hanya melihat dari sisi kepentingan dan keuntungan sesaat.
Menyinggung sosialisasi ke desa-desa tentang pengembangan pengelolahan kelapa sawit oleh PT SJA, Erens mengatakan sosialisasi tersebut tidak mewakili aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Informasi yang kami miliki 11 desa yang dimasuki PT SJS melaksanakan sosialisasi, seluruh masyarakat tidak setuju pembagian lahan 80% untuk perusahaan dan 20% untuk warga tetapi pihak SJA berdalil akan turun lagi untuk mengadakan sosilaisasi serupa. Berdasarkan UU RI tentang perkebunan tahun 2004 pasal 2 pengmbsngsn perkebunan harus berdasarkan asas manfaat dan berkelanjutan maksudnya bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dapat meningkaktkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan mengupayakan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memperhatikan kondisi sosial budaya. Juga menganut asas kebersamaan yang artinya penyelenggaraan perkebunan dilakukan dengan memperhatikan as[pirasi masyarakat dan didukung pelayanan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Dan perlu diperhatikan bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan nasional, antar daerah, antar wilayah, antar sector dan antar pelaku yang berasaskan berkeadilan. Lebih lanjut dikatakan Erens selama ini pihak SJA didukung Pemda Poso tidak melakukan sosialisasi yang benar-benar dipahami oleh masyarakat. Adapun sosialisasi yang pernah dilaksanakan BPN poso terkesan menggunakan UU Pokok Agraria tahun 1960 untuk menekan warga tentang hak atas tanah dengan mengabaikan UU nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan sebagai penjabaran UU diatas. Jika lanjut usaha perkebunan kelapa sawit saya yakin tiga puluh tahun kedepan warga yang ada di 13 desaakan menjadi buruh diatas tanah leluhurnya. Sebab areal yang dikalimPT SJA seluas 8500 Ha satu-satunya areal masadepan warga Onda’e ungkapnya. (Obeth)

Percetakan Sawah Fiktif Pancasila di Serah Terimakan

Tabloid Tegas Edisi III. November 2008
Percetakan Sawah Fiktif Pancasila di Serah Terimakan
Pancasila, Tegas. Penguburan kasus percetakan sawah baru fiktif yang berasal dari dana recorvery senilai Rp 822 juta, volume 175 Ha di Desa Pancasila Kecamatan Pamona Timur kini mulai jelas. Dimana pejabat pembuat komitmen anggaran pemulihan konflik Poso Drs M Nello pihak pertama telah membuat surat penyerahan lokasi percetakan sawah baru kepada Kades Pancasila M Rongko sebagai pihak kedua. Yang disaksikan oleh Camat Pamona Sealatan Drs Chris Ntaba hal ini tertuang dalam berita acara penyerahan lahan nomor:…/BA/PPK-PS/VIII/2008, tanggal 28 Agustus 2008. Diduga serat penyerahan lahan ini dibuat untuk melanggengkan penampungan bibit kelapa sawit yang disewa PT Astra. Dimana pada edisi lalu Koran ini melansir Kades Pancasila M Rongko memintahkan Pemda Poso agar segera menyelesaikan percetakan sawah yang sebagian besar aktif serta memintah pembayaran upah buruh kerja yang belum dibayar. Sekedar diketahui percetakan sawah baru di Desa Pancasila dikerjakan oleh CV Alimah Jaya dilakukan secara serampangan diperkirakan hanya mencapai 30% pengerjaannya. Janggalnya hanya beberapa hari Kades M Rongko mengatakan persoalan cetak sawah baru telah selesai. Adapun lokasi yang dikatakan percetakan sawah baru tersebut dibuat diatas lpkasi yang pernah diolah oleh Zipur (Zeni Tempur) TNI sekitar tahun 1970an untuk para pensiunan TNI (MPP). Selanjutnya lokasi yang telah berbentuk sawah jadi tersebut pernah diolah oleh masyarakt setempat sebagai persawahan aktif oleh karena tidak didukung oleh pengairan yang memadai lokasi tersebut diterlantarkan hingga masuk CV Alim Jaya. Sebaiknya pihak kejaksaan segera mengusut tuntas kasus tersebut. Sebab mata rakyat tidak buta melihat ketidak beresan salah satu kegiatan dari dana recorvery. (it)

Bila Ingin Korupsi Datang Saja di Poso “Aman”

Tabloid Tegas Edisi III. November 2008

Bila Ingin Korupsi Datang Saja di Poso “Aman”

Poso, Tegas. Sederet kasus penyimpangan penyaluran dana pemilihan Poso terus mewarnai corak hidup di Bumi Sintuwu Maroso. Ironisnya sejumlah kasusu penyimpangan uang Negara yang pernah diperiksa kejaksaan maupun aparat kepolisian mendeg tak berujung. Begitupun dengan laporan DPRD Poso maupun sejumlah pemerintah linnyan terkait penyimpangan dana recorvry ke Wapres, BPK pusat, KPK, Tipikor, Kejaksaan Agung, Kejati dan Polda Sultengjuga membeku seakan-akan instansi-instansi ini tak punya taring membenahi kebobrokan hukum di Poso.
Simaksaja kasus pemalsuan tandatangan bendahara Koperasi Karya Tani Desa Meko oleh Dewa Nyoman Aribowo ketika pencairan dana recorvery untuk koperasi tersebut, terkesan ditutupi pidananya. Selanjutnya sisa dana koperasi yang sempat ditangan Dewa Nyoman Aribowo senile Rp 41 juta dikembalikan ke Koperasi Karya Tani Meko lewat Polres Poso entah bagaimana dana tersebut ketika tiba ditangan pengurus hanya senilai Rp 38 juta, celakanya lagi dana yang kian ciut itu tidak jelas pembagiannya kepada anggota-anggotanya oleh ketua koperasi Dewa Pudja Astawa.
Selain itu Koperasi Maraayo di Desa Sulewana dipimpin Herri Banibi didampingi istrinya sebagai bendahara tidak menyalirkan dana tersebut kepada anggota-anggotanya sekitar Rp 72 juta. Hal yang sama juga dengan Koperasi Sorepaka Kelurahan Sangelamenurut pengurusnya, dana recorvery untuk koperasi in sebesar Rp 100 juta tetapi senilai Rp 25 juta masuk di Koperasi Payulemba Mposo. Kemudian ketua kopersi hanya membagi kepada pengurus-pengurusnya sebesar Rp 22.500.000. sisanya Rp 52.500.000 tidak jelas ditangan Yules Kello sang ketuakopersi yang buron hingga sekarang ini. Adapun Koperasi Mitra Karya Desa Salokai dari nilai bantuan dana recorvery senilai Rp 100 juta. Hanya sekitar Rp 11 juta yang tersalurkam keanggota dan pengurus koperasi tersebut sisanya sebesar Rp 89 juta tidak jelas ditangan sang ketua koperasi. Dan masi banyak lagi koperasi-koperasi penerimah dana recorvery yang bermasalah. Telah dilaporkan ke Tipikor, namun laporannya tidak pernah digubris seperti batu yang dilemparkan ditengah lautan. Herannya lagi pihak Kejati Sulteng telah mengadakan penyelidikan terhadap koperasi-koperasi yang bermasalah diatas namun hasilnya nihil. Selain itu pengambilan data pehak Kejati hanya menemui ketua, sekertaris dan bendahara koperasi yang nota benenya banyak telibat menilep dana tersebut. “Mana ada, maling yang mau mengaku”. Dibarengi proses penyelidikan para penegak hukum ini menggunakan fasilitas Pemda Poso. Memperjelas potret konspirasi mempeti eskan sejumlah kasus korupsi di daerah ini. Jika disimak proses hukum dekman Mahajura salah satu Ketua Koperasi yang menilep dana recorvery yang kini masih tinggal di Hotel Pordeo telah membuka peluang untuk mengusut kasus lainnya. Namun ternyata Dekman Mahajura hanya menjadi koraban menutupi kasus korupsi dana recorvery lainnya. Data Koran ini juga menyebutkan proses percetakan sawah baru di Desa Pancasiala senilai Rp 825 juta lebih 60% fiktif juga kasusnya raib ditangan pemegang hukum. Belum lagi mencuatnya kasus gaji para CPNS yang berjumlah 813 senilai Rp 2,6 miliar dibelokkan ke program lain. Hingga mutasi dan pemberhentian sejumlah pejabat daerah menggunakan style preman. Ini memperlengkap ungkapan rakyat bahwa pemerintah daerah di Poso ugal-ugalan. Warga menuding instansi penegak hukum di Negri ini benci mengurus korupsi di Poso. Imbasnya para koruptor di daerah ini kian jaya karena tidak tesentuh hukum alias dipelihara. Sebaiknya digerbang masuk dan didalam kota Poso dibentangkan spanduk besar dengan tulisan “Bila ingin korupsi datang saja di Poso… aman”. (Tim)

Pengembangan Kebun Kelapa Sawi Perlu Kajian Serius, S Palima: Saya Khawatir Masyarakat Lokal Bakal Dijadikan Buruh Selamanya

Tabloid Tegas Edisi III. November 2008

Pengembangan Kebun Kelapa Sawi Perlu Kajian Serius
S Palima: Saya Khawatir Masyarakat Lokal Bakal Dijadikan Buruh Selamanya

Poso, Tegas. Pengembangan kelapa sawit yang akan dilaksanakan oelh PT Astra di Kecamatan Pamtim dan Pamtengg kini masih menemui kendala bahkan sebagian besar warga setempat menginginkan usaha tersebut dibatalkan. Menurut ketua DPRD Poso Drs S Palima yang ditemui tegas diruang kerjanya, kesalahpahaman dalam masyarakat tidak akan timbul apabila Pemkab (Pemerintah Koat) Poso sebelim melayani permohonan pihak investor, sudah mengadakan pertemuan pendekatan terhadap masyarakat Pamtim dan Pamteng untuk menyampaikan bahwa ada pemohon yang ingin menanamkan modalnya untuk penanaman kepal sawit ungkapnya. Lebih lanjut dikatakan Drs S Pelima hal ini harus dilakukan dengan alasan, kelapa sawit merupakan komoditi baru bagi masyarakat setempat. Lokasi ini adalah areal yang menjadi persawahan sejak turun temurun. Dan perlu diketahui pengeringan tersebut melalui penggalian saluran air melibatkan masyarakat setempat. Sehingga rawah ini sebagian sudan dapat memungkinkan untuk percetakan sawah baru. Selain itu daerah ini areal persawahan, harus dibicarakan baik-baik sebab sandaran hidup masyarakat yang ada adalah sebagian petani bersawah, ini harus diatur jangan sampai tanah-tanah cadangan yang menjadi harapan masa depan masyarakat yang jumlahnya bertambah-tambah setiap tahun sudah tidak ada, jelasnya. Kemudian mengapa Pemda Poso tidak mendorong untuk mengkaji daerah-daerah dipegunungan yang punya kelerengan 35% yang banyak juga di temukan kecamatan lain, justru tanah harapan persawahan warga Pamtim dan Pamteg.
Menurut Drs S Pelima, DPRD telah membuatkan surat mengingatkan bupati agar persoalan ini dibicarakan baik-baik dengan seluruh masyarakat. “Jangan hanya mengandalkan sosialisasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut”. Seharusnya Pemda Poso bersama pemerintah kecamatan dan desa mengadakan sosialisasi kepada seluruh masyarakat yang lokasinya masuk arel pengembangan kebun sawit. Jika in sudah dilakukan barulah pihak perusahaan turun sosialisasi, jangan seperti ini perusahaan dilepas sendiri menghadapi masyarakat. Ketua DPRD Poso mengatakan jika proses pengerjaan lahan sudah dimulai, Pemda Poso dan Perusahaan sangat keliru sebab banyak hal yang harus dilengkapi sebelun adanya pengelolaan didalam areal diantaranya pengkajian dari sudut pertanahan tentang hak-hak perdata, izin usaha perkebunan, Hak Guna Usaha (HGU), semuanya harus dilakukan oelh analisis Amdal. “Sebelum adanya hasil analisis amdal, sebelum adanya izin perkebunan, sebelum adanya HGU, pengelolaan perkebunan belum boleh memulai pekerjaan” tegas Drs S Pelima. Lebih lanjut dikatakan Drs S Pelima yang juga berasal dari Pamtim, rencananya dalam waktu dekat Pemda Poso sudah akan mengajak Gubernur HB Paliudju untuk mengadakan penanaman perdana ini kan menjerumuskan atasan?. Bupati harus tahu aturan, prosedur tatanan kegiatan investasi, jangan sampai masalah ini membuat keresahan. Menyinggung program perusahan yang memaksa sitem pembagian lahan 80% untuk perusahaan dan 20% untuk masyarakat. Ngakai sapaan akarab Drs S Pelima mengatakan siapa yang bisa menjamin pembagian lahan 80:20 bisa menjadi pola usaha yang tepat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Saya khawatir masyarakat yang ada bakal dijadikan brurh selamanya”. Olehnya program ini harus kembali dibicarakan dengan sebaik-baiknya, sebab kajian pemerintah propinsi pemnafaatan ocupasieral tersebut sangat mempangaruhi tata air sampai ke Kabupaten Morowali. Menyinggung areal tersebut adalah tanah Negara yang di terlantarkan Ngkai S Pelima mengatakan memang itu adalah tanah negara akan tetapi perlu diingat warga yang ada didaerah itu sudah menetap sejak dahulu kala.dan mereka mengetahui areal tersebut untuk masa depan pengembangan regenerasinya. Jika dikatakan kenapa lahan ini belum diolah, perlu diketahui seluruh areal itu dulunya rawah, saat itu belum ada tekhnologi permanen yang bisa membantu pendudk mengeringkan air yang tergenang, jangan dengan alsan itu dijadikan tolak ukur untuk menguasai lahan yang ada, tutup Ngkai. (Obeth)

Sosialisasi PT SJA “Pembohongan Publik” Prasasti Gubernur HB Paliudju Harus di Hargai

Tabloid Tegas Edisi III November 2008

Sosialisasi PT SJA “Pembohongan Publik”
Prasasti Gubernur HB Paliudju Harus di Hargai
Pamona Timur, Tegas. Sosialisasi pengembangan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Sawit Jaya Abadi (SJA) di 11 desa di Kecamatan Pamona Timur dan pamona Tenggara merupakan pembohongan publik. Seluruh desa yang dimasuki PT SJA didampingi Tripaka setempat bukan menjaring aspirasi masyarakat, tetapi siasat untuk mendekati warga yang diduga sebagai dasar untuk memperoleh izin pengembangan. Seharusnya Pemda Poso tidak bisa melihat sebelah mata persoalan ini. Perlu diketahui saat sosialisasi dilaksanakan seluruh masyarakat menolak pembagian lahan 80:20. tetapi menenangkan warga, PT SJA berdalil akan mengadakan sosialisasi susulan tentang oembagian lahan. Namun realitanya PT SJA didukung Pemda Poso sudah melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mengadakan pengelolaan areal tersebut.
Sementara Badan Sosialisasi Pertanahan Poso yang juga mengadakan sosialisasi dihadiri Pamtim dan Pamtengdi Desa taripa beberapa saat yang lalu., juga dinilai pembohongan publik. Awalnya BPN mengatakan sosialisasi tersebut tidak berhubungan dengan PT SJA tetapi usai kegiatan tersebut BPN langsung mengadakan survey di lapangan pengembangan kelapa sawit didampingi PT SJA, dilanjutkan dengan rapat tertutup dikantor ccamat Pamtim. Terbesit isu bahwa sosialisasi itu untuk melanggengkan Izin guna usaha (HGU). Selain itu perusahaan ini secara terang-terangan melanggar UU RI nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan pasal 37 bahwa hasil penelitian dan pengembangan perkebunan harus dipublikasikan melalui (a) media cetak, (b) media lektronik seperti radio, televise dan internet., (c) seminar gelar tekhnologi, pameran tekhnologi. Menurut salah satu staf perusahaan tersebut yang bernama Oka pada Tegas mengatakan “perusahaan PT SJA tidak butuh publikasi, SJA sudah terkenal”. Parahnya lagi iklan ucapan selamat Idul Fitri sesuai permintaan lisan kepada Proyek Marauli Hutagalung yang telah dinaikan Koran ini edisi lalu.
PT SJA menolak menolak membayar iklan tersebut menurut Oka jika tidak ada perjanjian otentik (tertulis) perusahaan tidak bertanggungjawab ungkap Oka. Hal ini jelas mengumpan pertanyaan public, tentang janji-janji perusahaan saat sosialisasi yang tidak menggunakan kesepakatan tertulis dengan masyarakat. Dikhawatirkan janji-janji PT SJA hanya “Sorga telinga”. Sudah cukup daerah ini menjadi lading janji-janji kebohongan jangan ditambah…Sementara itu Marauli mengatakan tidak ada pola plasma iga di Kecamatan Pamona Tenggara.data peserta sosialisasi pengembangan perkebunan kelapa sawit sudah termasuk Tripika, staf perusahaan PT SJA dan wartawan sebagai berikut Desa Salindu sebanyak 85 orang (24/9), Desa Singkona sebanyak 63 orang (24/9), Desa Olumokunde sebanyak 78 orang (15/9), Desa Petiro sebanyak 99 orang (17/9), Desa Matialemba sebanyak 106 orang (15/9), Desa Taripa sebanyak 109 orang peserta (19/9), Desa Tiu sebanyak 74 oarng peserta (17/9), desa Poleganyara sebanyak 88 orang (17/9)Desa Kancuu sebanyak 89 orang (18/9), Desa Masewa sebanyak 68 orang (23/9), dan Desa Barati sebanyak 109 orang (24/9). Sekedar diketahui didalam lokasi yang diizinkan Pemda Poso seluas 8500 Ha ada didalamnya lahan kebun masyarakat yang ditanami pisang, kakao, dan jenis tanaman lainnya bahkan adaareal persawahan seluas 2.200 Ha.
Prasasti Gubernur Sulteng
Perlu diketahui pada prasasti yang berdiri di Desa Barati Kecamatan Pamona Timur bertuliskan “Pada hari ini kami canangkan penataan dan pemanfaatan lahan rawah Lembah Saembawalati untuk permukiman dan pertanian Poso 25 Agustus 1996 tertanda HB Paliudju”. Selain itu Piet Inkriwan pada saat kampnye pilkada Poso di Desa Barati berjanji Lembah Saembawalati akan dijadikan cetak sawah baru.
PT SJA telah merusak areal penghijaun jambumente di Desa Matialemba dengan pembukaan jalan masuk keareal pengembangan kebun kelapa sawit (Bukti PT SJA sudah memaksakan mengadakan cara-cara yang tidak merakyat). Bagaimana nasib lahan seluas 2.200 Ha kedepan?, ada ditangan warga setempat… (obeth)

Kejati Sulteng Mandul Tangani Korupsi Dana Recorvery Poso

Tabloid Tegas Edisi III. November 2008Kejati

Kejati Sulteng Mandul Tangani Korupsi Dana Recorvery Poso
Poso, Tegas. Keseriusan Kejaksaan Tinggi Propinsi Sulawesi Tengah dalam menangani kasus korupsi dana recorvery Poso kini dipertanyakan public Kabupaten Poso pasalnya kasusu yang sangat menjengkelkan rakyat ini terkesan ditutup-tutupi oleh Kejati Sulteng sejak tahun 2007. buktinya tidak ada satupun kasus yang disidangkan. Padahal data-data penyimpangan penggunaan dana pemulihan konflik telah dilaporkan oleh ketua dan anggota DPRD Poso, Pdt Rinaldi Damanik, sejumlah LSM dan beberapa masyarakat serta tulisan media massa sudah menumpuk di meja sang pemegang keadilan Sulteng. Mulai kasus percetakan sawah baru Fiktik di Desa Pancasila, kasus kopersi penerimaan dana recorvery, suku bunga dana recorvery yang masuk direkening pribadi, lima tower reapiter link nonfungsi, harga 82 satuan kegiatan yang diduga sebagai dimarj up dan fiktif, kesalahan tehnis dalam penggunaan anggaran yang melanggar juknis Gubernur Sulteng. Masih banyak lagi kassus penyelewengan dana pemulihan Poso. “Semuanya diduga menjadi lahan subur untuk didiamkan”. Demo mahasiswa Unsimar Poso yang lalu. Menggambarkan proses penyimpangan dana recorvery di Kabupaten Poso tidak didiamkan warganya. “Akan diusut hingga tuntas”. Sejumlah komponen masyarakat lewat koran ini menghimbau, agar pihak Kejati Sulteng mempercayakan Kejari Poso untuk mengusut tuntas penyelewengan dana recorvery. Institusi yang lebih dekat dan lebih paham soal kasus ini. (Obeth)

Dana Pendidkan Senilai Rp24,7 Miliar Dialihfungsikan

Tabloid Tegas Edisi III. November 2008

Dana Pendidkan Senilai Rp24,7 Miliar Dialihfungsikan
Poso, Tegas. Dana pendidkan kabupaten Poso senilai Rp 24,7 miliar akhirnya resmi dialihfungsikan untuk proyek prioritas anggaran APBD tahun 2008, yang ditandatangani wakil ketua DPRD Poso Abd. Munim Liputo dan Hery Sarumpaet (28/10). Pengalihan dana ini berdasrkan surat petunjuk Depdagri. Adapun ketua DPDR Poso Drs. S Pelima tidak menyetujui pengalihan dana tersebut.hal ini seturut dengan petunjuk BPK Propinsi Sulawesi Tengah kepada DPRD Poso yang mengatakan dana pendidakan jangan di utak-atik. Keraguan DPRD Poso tidak menyetujui usul tersebut sangat mendasar, sebabsistem penbayaran gaji CPNS didaerah ini masih simpang siur. Banyak CPNS yang belum menerima gaji rapel, sementara lainnya sudah menerima.sebagai contoh sejumlah sejumlah guru CPNS tamatan 2008 di Pambar yang pernah dikonfirmasi media ini mengaku belum menerima gaji dan rapelnya. Sementara seorang guru SDN di Kasiguncu Poso Pesisir, golongan II Btamatan 2005, mengatakan ia telah menerima rapel sebesar Rp 32 juta.
Apakah pengalihan dana pendidkan ini merupakan jebakan politik… kits tunggu perkembangannya. (Tim)

Minggu, 09 November 2008

Expansion of the extractive industries and large-scale plantation threaten the Food Security in Central Sulawesi

The threat of climate change or global warming is happening now. It is quite concerned about all people of earth, by the food crisis and the global financial crisis that is sure impact to developing countries such as Indonesia. Similarly Indonesian government policy, which is full with the intervention of foreign investment capital through a number of extractive industries and large-scale plantations. This needs to review how the many benefits and losses incurred not only hold out until the birth of loss that does not culminate for generations in the future.

Central Sulawesi province as one that should not also separated from the system policy SBY-JK current entry in the list of capital expansion in the target industries dredging / extractive plantation and large-scale demand for alternative energy and biofuel called agrofuel. More than 2 million ha of land in Central Sulawesi will be allocated for Sawit, Distance & Corn, which this commodity is also part of the food consumed by people for this.

A number of district / city in Central Sulawesi, which has the potential good that mine gold, nickel, iron ore and oil and gas rollicking 'sold' to owners of capital or exchange guling done between the owners and concessionaires Contract of Work (Right Forest), or permission other concessions that are no longer active in the field. Fulfillment of the district target with income native regions (PAD) is the classic reason, but able to fool the public from the first until now promised welfare.

The most interesting current projects such as the opening of the road axis, the initiative to accelerate economic point of distribution between the two regions, Parigi Moutong and the City of London will also open the road axis of Palu-Parigi because the existing roads Kebun Kopi paths is not feasible anymore melintasinya and to require a long period of time, so there is a need to alternate routes other more quickly. This consideration is not based on a full environmental study, if the note on the point that there is also pass through protected areas, namely mountain ferbek Sulawesi, which to this day can be seen directly impact the condition of the road prone to landslides when the rainy season arrived. Finally there is also a parallel development plan RTS 5,000 units in the villages and then into the Poboya mazy when buying and selling land transactions conducted between the ‘dark’ company and cancel with the community. Then there is a statement that the government gold mine concessions in Poboya ex Rio Tinto will be managed by the Earth Resource (usut the usut have no information that Rio Tinto shares, Inco and the Bakrie Group is in the company). At the same time all at once can be inter-related.

Disbursed investment of oil palm plantations in Central Sulawesi 2 (two) last year has also been alien agricultural sector. This is also not enough transparency in the project with the commitment of both the procedural and ensure the sustainability and the environment. In the Poso district, the location of 9,775 ha wide formulated by the Central Sulawesi Governor HB. Paliudju on 25 August 1996 for settlement and agriculture, by the Government in the Poso district in 2008 is given permission for the location of Palm Oil PT. Sawit Jaya Abadi (Astra Group) 8500 Ha whole. Meanwhile, protests in the 12 (twelve) Village ignored. Villages that are: Village Barati, Singkona Village, Village Salindu, Masewe Village, Village Kancu, Poleganyara Village, Village TIU, Taripa Village, Village Petiro, Matialemba Village, Village Kamba, and the Village Olumokunde. In addition, reports from the field and the results of the review Poso district legislature, that PT. Sawit Jaya Abadi only with his permission location of the new Regent of Poso and to disseminate the plan EIA (Environmental Impact Analysis) is conducting operations / activities in the field, such as where to build oil palm seedlings nursery.

Related to this case, WALHI Central Sulawesi has conducted protests to the Ministry of Agriculture, which ignore the rights of farmers in Poso regency to do with the diversion of agricultural land to become the location of palm oil plantations threaten the food source community. Given that this is also closely related to the environmental impact of conflict and the ownership of the land, and public protests on the transfer of the functions of the land in question. It also strongly urges the Minister of Agriculture, the Ministry of the Environment and head of the National Land Agency consider the aspirations of people from 12 villages that have been mentioned, and does not approve a request permission HGU (Business Use Rights) and Operating Company in the Field before the prerequisites are met, so when the project impact happen in the future that is not expected but can also be accountable to both.

It seems that the expansion of capital industries all the way to the interests of extractive industries and large-scale plantation by the 'red carpet' given by the local government. And the impact of the threat of food crisis due to the availability of land for farmers and reduced global warming, which began to be felt at this time may be neglected or doesn’t important.

WALHI Sulteng Surati Mentan dan Menteri LH

Radar Sulteng, 10 November 2008

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Daerah Sulteng menyampaikan surat protes alihfungsi lahan kepada Menteri Pertanian RI, Anton Apriyantono, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rahmat Witoelar dan Kepala BPN Joyo Winoto, PhD.
Pasalnya kebijakan alihfungsi lahan dapat mengancam ketahanan pangan di Sulteng.

hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulteng, Wilianita Selviana kepada Radar Sulteng via surat elektronik tadi malam. Dia menjelaskan kondisi lingkungan di SUlteng makin memprihatinkan dan mengancam ketahanan pangan daerah ini.


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah produksi padi sawah yang dihasilkan setiap tahunnya mencapai 726.714 ton/ha. Jumlah produksi yang dihasilkan dari lahan palawija antara lain jagung dengan jumlah produksi 67.617 ton/ha, tomat jumlah produksi 58.260 ton/ ha, lobak jumlah produksi 48.300 ton/ha, ubi kayu jumlah produksi 48.255 ton/ha, bawang merah jumlah produksi 44,960 ton/ha, terung jumlah produksi 32.490 ton/ha. Sementara tanaman buah-buahan, jumlah produksi yang dihasilkan antara lain jeruk siam/keprok sebanyak 21.036 ton/ha, labu siam sebanyak 18.890 ton/ha, nangka sebanyak 3.763 ton/ha, durian 3.123 ton/ha, dan pisang sebanyak 2.887 ton/ha. Dari gambaran ini ternyata hasil pertanian Sulawesi Tengah sangat menjanjikan secara ekonomi. Namun yang disayangkan adalah, maraknya investasi perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah 2 (dua) tahun terakhir ini telah meminggirkan sektor pertanian.

Hal itu juga tidak dibarengi dengan komitmen transparansi proyek yang baik dan prosedural serta menjamin kelestarian lingkungan. Di kabupaten Poso, lokasi seluas 9.775 Ha yang dicanangkan oleh Gubernur Sulawesi Tengah HB. Paliudju pada tanggal 25 Agustus 1996 untuk pemukiman dan pertanian, oleh Pemerintah Kabupaten Poso pada tahun 2008 ini diberikan izin lokasi bagi Perkebunan Kelapa Sawit PT. Sawit Jaya Abadi (Astra Group) seluas 8.500 Ha. Sementara protes masyarakat di 12 (dua belas) Desa diabaikan. Desa- desa yang dimaksud yaitu : Desa Barati, Desa Singkona, Desa Salindu, Desa Masewe, Desa Kancu, Desa Poleganyara, Desa Tiu, Desa Taripa, Desa Petiro, Desa Matialemba, Desa Kamba, dan Desa Olumokunde. Selain itu, dari laporan masyarakat dan hasil tinjauan lapangan DPRD Kabupaten Poso, bahwa PT. Sawit Jaya Abadi dengan hanya bermodalkan ijin lokasi dari Bupati Poso dan baru melakukan sosialisasi rencana AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sudah melakukan operasi/aktivitas di lapangan seperti membangun tempat persemaian bibit sawit.


Terkait dengan hal itu kata Lita, walhi sulteng memprotes Menteri Pertanian yang mengabaikan hak-hak petani di Kabupaten Poso dengan melakukan pembiaran terhadap proses pengalihan lahan pencanangan untuk pertanian menjadi lokasi perkebunan kelapa sawit yang mengancam sumber pangan masyarakat. Mengingat hal ini juga sangat erat kaitannya dengan dampak lingkungan serta konflik kepemilikan lahan, maka protes yang sama juga kami sampaikan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang juga terkesan mengabaikan proses masuknya perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Poso yang menyepelekan AMDAL sebagai prasyarat utama dan protes masyarakat atas pengalihan fungsi lahan yang dimaksud.


Masih terkait hal alih fungsi lahan
, Walhi Sulteng, mendesak Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pertanahan Nasional memperhatikan aspirasi masyarakat dari 12 Desa yang telah disebutkan, dan tidak menyetujui permohonan izin HGU (Hak Guna Usaha) serta Operasi Perusahaan di Lapangan sebelum prasyarat proyek dipenuhi sehingga apabila di kemudian hari terjadi dampak yang tidak diharapkan maka hal ini juga bisa dipertanggungjawabkan secara baik. (*/bil)

Rabu, 05 November 2008

Masyarakat Adat Lindu Mengadu ke Komda HAM

Media ALkhairaat
Kamis, 6 November 2008
Masyarakat Adat Lindu Mengadu ke Komda HAM
Palu- Sekitar delapan orang perwakilan masyarakat Adat Lindu, mengadu ke kantor Komisi Daerah Hak Asasi Manusia (Komda HAM) Sulawesi Tengah, Rabu (5/11) siang kemarin. Mereka mempersoalkan tindakan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) yang secara terus menerus melakukan kriminalisasi terhadap warga Desa Tomado kecamatan Lindu.
Menurut salah satu perwakilan warga, Rony Toningki, kedatangan mereka di Komda HAM siang itu adalah untuk mempersoalkan tindakan BBTNLL yang melakukan pemanggilan lagi terhadap dua warga Lindu.
Padahal sebelumnya mereka sudah masukkan lima orang warga Lindu ke Rutan Maesa. “Sekarang dua orang lagi yang mereka panggil menghadap, dengan status tersangka, padahal belum pernah di periksa. Dasar apa dia (BBTNLL, red) tetapkan warga sebagai tersangka,” ujar Rony.
Sementara itu, L.Maladjuna (62), salah satu anggota Lembaga Adat Tomado yang mendapat surat panggilan menjelaskan, warga Lindu itu tidak pernah melakukan perambahan, sebagiamana yag dituduhkan pihak balai terhadap dirinya.
“Selama ini saya sibuk urus sawah dan kebun kakao yang ada di Kanavu,” kata Maladjuna. Kalaupun ada pembukaan lahan baru di wilayah Tomado, itu masih termasuk dalam wilayah adat kami, bukan taman nasional,” katanya.
Menurut bapak 14 cucu ini, masyarakat tidak pernah diberi tahu soal batas wilayah. “Mereka datang secara asal saja pada saat itu untuk tetapkan taman nasional, tanpa pernah mau mengajak orang Lindu bicara. Itu yang kami sesalkan pada waktu itu,” seal dia.
Mendapat pengaduan warga itu, ketua Komda HAM Sulteng, Dedy Askari sangat menyesalkan tindakan pihak BBTNLL, karena langsung menetapkan warga sebagai tersangka.
“Mestinya mereka dipangil sebagai saksi dulu, jangan mentan-mentang institusi vertikal dengan seenak perutnya saja posisikan masyarakat jadi tersangka. Ini adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan,”katanya.
Untuk itu pihaknya akan menyurat ke BBTNLL guna minta klarifikasi atas kasus ini. Jika dalam jangka 2x24 jam mereka tidak tanggapi, Komda HAM akan mengeluarkan surat panggilan guna dimintai keterangan. (ewin)

Eksekusi Amrozin dkk Empat Ornop Serukan Hentikan Hukuman Mati

Media Alkhairaat
Kamis, 6 November 2008
Eksekusi Amrozin dkk
Empat Ornop Serukan Hentikan Hukuman Mati
Palu-Terkait pelaksanaan eksekusi tiga terpidana mati Bom Bali, Amrozi dkk, awal November ini, empat organisasi non pemerintah (ornop); Rabu (5/11) kemarin, menyerukan pernyataan sikap bersama. Mereka meminta pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dihentikan.
Keempat ornop tersebut adalah Kontras Sulawesi, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Palu, Lembaga Pengembangan Masyarakat Indonesia (LPMI) Sulteng dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng.
Menurut keempat ornop ini, rencana eksekusi mati Amrozi dkk mengusik hati nurani kemanusiaan.
“Karena itu kami menegaskan hentikan hukuman mati! Jangan ada lagi pembunuhan, apalagi atas nama hukum,” tegas mereka dalam pernyataan yang diterima redaksi Media Alkhairaat, Rabu (5/11) kemarin.
Terlepas dari perbuatan yang dilakukan Amrozi dkk serta peristiea Bom Bal yang memakan banyak korban, menurut mereka, tidak ada landasan apapun, baik landasan agama, pertimbangan etis, maupun pertimbangan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan hukuman mati.
Sikap keempat ornop ini dilandasi empat hal. Pertama, tak ada seorang pun berhak menentukan hidup matinya seseorang. Kedua, hak untuk hidup adalah landasan paling dasar. Ketiga, hasil studi menunjukkan hukuman mati tak menimbulkan efek jera. Keempat, hukuman bersifat final, karena tak dapat ditinjau kembali bila putusan hakim salah.
Sementara itu, rabu kemarin, Antara memberitakan, pelaksanaan eksekusi terhadap tiga terpidana mati kasus Bom Bali I, Amrozi dkk yang kini mendekam di ruang Super Maximum Security (SMS) LP Batu Nusakambangan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, semakin dekat.
Sampai hari Rabu pukul 18.30 WIB, selain pengamanan yang diperketat terutama di pintu-pintu masuk pulau yang berada di ujung selatan Jawa Tengah tersebut juga sudah dipersiapkan tiang eksekusi terhadap trio Bom Bali I tersebut.
Tiga tiang eksekusi bagi terpidana mati Bom Bal I, Amrozi, Mukhlas alias Ali Gufron dan Imam Samudra, telah disiapkan di pualu Nusakambangan, Cilacap.
“Tiga tiang yang diperkirakan untuk eksekusi telah berdiri di Nirbaya, Nusakambangan, sejak kemarin,” kata sumber Antara di Nusakambangan.
Menurut dia, tinggi tiang tersebut sekitar 2 meter dan masing-masing dipasang dengan jarak sekitar 5 meter.
Sementara itu personel TNI mulai dikerahkan untuk mendukun pengamanan disekitar Dermaga Wijayapura, Cilacap menjelang pelaksanaan eksekusi. Sejumlah anggota TNI dari berbagai kesatuan, seperti Ankatan Darat dan Marinir Angkatan Laut, turut berjaga bersama personel polisi bersenjata lengkap.
Selain tampak dari penambahan jumlah personel pengamana, petugas juga mulai meminta warga, pedagang dan pengemudi becak untuk beralih meninggalkan daerah sekitar jalan masuk dermaga ini. (ahmad)

Keluhkan bagang, SNTP Datangi DPRD

Media Alkhairaat
Kamis, 6 November 2008
Keluhkan bagang, SNTP Datangi DPRD
Palu-Puluhan masyarakat nelayan yang menamakan dirinya Seerikat Nelayan Teluk Palu (SNTP), siang kemarin mendatangi DPRD Kota Palu. Kedatangan mereka menuntut bertambahnya bagang yang beroperasi di teluk Palu yang dalam peraturan Daerah (Perda) ada batasan bagang yang dioperasikan.
Puluhan massa SNTP diterima oleh komisi gabungan A dan B DPRD Kota Palu, dipimpin oleh Wakil Ketua Arifin Sunusi.
Ketua SNTP Ahmad Ali mengatakan saat ini bagang yang beroperasi semakin bertambah sekitar 30 buah, sementara jumlah bagang yang tertuang dalam perda ada batasannya sehingga perlu penegasan pihak terkait. Semakin bertambahnya jumlah bagang, penghasilan yang dihasilkan nelayan dari hasil tangkapannya semakin kecil.
“kita jangan menutup mata dengan persoalan ini karena sampai saat ini nelayan masih berpatokan dengan Perda yang ditetapkan, akan tetapi mengapa pemilik bagang sepertinya mengabaikan perda yang telah dibuat,” ungkapnya.
Mereka mengeluhkan, pengoperasian bagang di teluk Palu saat ini, tidak pernah disetujui masyarakat nelayan tradisional, karena dampaknya sangat tidak menguntungkan. Bagang yang dipergunakanpun ukurannya cukup besar yakni 12x12 dan itu tidak sesuai ketentuan dalam Perda.
Sementara itu, kepala Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Palu Zainal Arifin mengakui adanya perda tersebut. Namun belum berfungsi dengan baik sebab masih akan dilakukan revisi kembali. Karena dalam pengkajian yang dilakukan sebelumnya, ada beberapa poin yang masih perlu dilakukan perubahan sehinga perda tersebut masih di Biro Hukum Pemkot.
“Kita akan mendesak agar perda tersebut secepatnya diselesaikan dan keberdaan bagang saat ini bukan karena atas rekomendasinya,” terangnya.
Anggota DPRD kota Palu Ashar Yahya mengatakan, berkurangnya tangkapan nelayan tradisional di teluk Palu, bukan hanya disebabkan oleh beroperasinya bagang. Unsur lain yang menjadi penyebab kata Ashar, antara lain keruhnya air sungai Palu, adanya galian C, pembuangan limbah yang dilakukan oleh industry, perhotelan dan dermaga.
“bahkan PLTU dan PLTD yang ada saat ini juga sangat berpengaruh karena tidak menutup kemungkinan limbahnya ke laut, karena keberadaannya tidak jauh dari teluk Palu, sehingga jangan mimpi kalau ada nelayan yang bisa menemukan ikan yang lumayan besarnya,” imbuhnya.
Sementara itu, direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) daerah Sulteng, Wilianita Selviana dalam siaran persnya menyebutkan, beroperasinya bagang di teluk Palu merupakan praktek over fishing dan ilegal fishing, setelah disahkannya Perda nomor 9 tahun 2005.
“Overfishing yang dipraktekkan oleh bagang, jelas bertolak belakang dengan prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan yang juga merupakan misi dari pembangunan dan perikananan Sulawesi Tengah (presentasi Kadis Perikanan da Kelautan Sulawesi Tengah, 2007),” kata Wilianita Selviana. (hady)

WALHI : Bagan di Teluk Palu belum ditertibkan, Ancam Kelestarian Sumber Daya Ikan

Public Release

Untuk Segera Disiarkan

Rabu, 5 November 2008

Kontak : Wilianita Selviana

Telp : (0451) 423715

Email : walhisulteng@gmail.com,

sulteng@walhi.or.id


Secara geogafis teluk palu terletak di selat Makassar, yang mempunyai arus cenderung membawa masuk ikan pelagis dari Selat Makassar ke dalam perairan Teluk. Selain itu, Teluk Palu secara alami dikelilingi oleh terumbu karang, padang lamun dan hutan mangrove yang produktif. Dengan demikian keberadaan dan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan Teluk Palu cukup tinggi dan beragam.

Sejak dulu Teluk Palu menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat yang bermukim disekitarnya. Mereka menjadi nelayan teluk palu dengan menggunakan alat-alat yang masih bersifat tradisional dan sampan yang tak bermotor maupun yang dilengkapi dengan katingting. Tetapi seiring bergulirnya zaman dan bertambahnya penduduk serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan tehnologi, maka mulai tahun 1982 muncul bagan listrik yang beroperasi dengan mesin pembangkit listrik (generator) dan menggunakan lampu yang sangat terang sehingga memiliki hasil tangkapan yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan banyak jenis ikan yang ekonomis mempunyai sifat fototaksis positif sehingga penggunanaan cahaya yang besar sangat mempengaruhi catchbility ikan.

Menurut salah seorang nelayan yang bermukim di teluk palu, menyebutkan bahwa di perairan teluk palu masih beroperasi 32 bagan listrik yang juga menggunakan lampu neon berwatt tinggi yang dijalankan genset sebagai penerangannya. Hasil tangkapan bagan listrik yang tidak ”memandang bulu”, menyebabkan timbulnya konflik horisontal di masyarakat pesisir teluk palu yang juga notabene adalah nelayan tradisional. Mereka mengaku sejak beroperasinya bagan jumlah tangkapan mereka menurun drastis.

Beroperasinya bagan listrik di teluk palu juga merupakan praktek over fishing dan ilegal fishing setelah disahkannya Perda nomor 9 tahun 2005. Over fishing yang dipraktekkan oleh bagan jelas bertolak belakang dengan prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan yang juga merupakan misi dari pembangunan dan perikanan sulawesi tengah (presentasi Kadis Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah, 2007). Bagan yang beroperasi juga mengangkut semua jenis ikan dari berbagai ukuran dan umur (larva, juvenil hingga dewasa), sehingga membatasi kemampuan memijah ikan-ikan tersebut. Dapat diprediksikan jika pengoperasian bagan terus menerus berlanjut, dimasa akan datang teluk palu akan berada pada kondisi kritis dalam hal ketersediaan sumber daya perikanannya, hal ini yang perlu dipikirkan oleh pemda.

Pada hearing kesekian kalinya pada 5 november 2008 kembali nelayan teluk palu menyampaikan keluhan mereka tentang dampak negatif pengoperasian bagan di teluk palu yang mereka rasakan selama ini dan menilai Pemkot tidak konsisten menerapkan perda nomor 9 tahun 2005. Melalui hearing ini lagi-lagi DPRD kota menjanjikan untuk mengkoordinasikan hal tersebut dengan pemerintah kota. Semoga hal ini tidak menjadi bagian dari janji seperti di tahun 2006 dan 2007 setelah melaksanakan proses hearing yang berulang-ulang. Mengingat hal ini penting bagi semua pihak sebaiknya tidak dibiarkan berlarut-larut dan merugikan nelayan tradisional dari hari ke hari serta jaminan keberlanjutan sumber daya ikan di teluk palu. Perda nomo 9 tahun 2005 sudah sangat jelas mengatur jenis alat tangkap yang boleh beroperasi di teluk palu, Pemkot seharusnya menegakkan Perda ini bukan malah melanggarnya.